SINIS
Dia, orang tua yang sering kulihat saat mau berangkat kerja. Aku bekerja sebagai pembantu di perumahan ini, dan kebetulan rumah majikanku dekat dengan rumah pak Pur. Tiap pagi kulihat beliau menyapu, ngurusin tanaman atau olah raga di depan rumahnya yang sempit. Pernah juga kulihat ia sedang memanggil-manggil tukang sayur sambil berjalan cepat dan sempoyongan. Setelah kutanya, ternyata ia ingin membeli kerupuk.
Umurnya 50an tapi seperti sudah berumur 80an, kurus dan jalannyapun terseok-seok, kata seorang temanku dulu stroke dan sekarang sembuh. Mungkin karena itu ia tampak menyibukkan diri setiap pagi agar kesehatannya terjaga. Salah satu kegiatannya mengurus tanaman. Ada pohon sirih yang merambat di sana-sini, lidah mertua, dan beberapa jenis tanaman lain yang saat ini sedang naik daun, apalagi kalau bukan jenmani, aglonema atau sejenisnya yang aku tak hafal namanya, harganya hingga berjuta-juta. Jauh lebih mahal dibandingkan dengan upahku sebulan sebagai pembantu. Sudah banyak kerja ngurus anak, masak, bersih-bersih, jaga rumah “e…alah… gajinya sak dumil”. Sampai-sampai tiap bulan aku pusing memikirkan cara mengatur uang belanja, nabung juga mengirimi orang tuaku di kampung.
Oh, iya….diantara semua jenis tanaman milik pak Pur, ada satu yang membuat aku selalu datang ke sana dan menyempatkan ngobrol dengannya. Belimbing wuluh, yang berbuah lebat di awal musim hujan di tahun ini, tahun awal aku bekerja. Majikan perempuanku selalu menyuruhku untuk minta belimbing wuluh pak Pur saat mau masak sayur asem. Mau tak mau aku harus menurut, tapi aku senang bisa kenal Pek Pur, ia orang baik dan tak pernah menjelekkan orang lain.
Tempat kerjaku ada di sebelah utara rumah pak Pur, selesai masak dan beres-beres biasanya aku duduk mendengarkan radio sambil istirahat. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu, kutengok ternyata Bima pulang Sekolah sama omnya. Baru kubukakan pintu, Bima langsung nengok ke sebelah rumah dan manggil si Jordan. “Jor….jor, main PS yuk!” panggilnya.
Biasanya Bima suka main PS (Play Station) dengan Jordan anak sebelah. Meskipun Bima masih anak TK dan Jordan kelas 5 SD, mereka nampak akrab. Saking akrabnya Bima selalu ngaku-ngaku kelas 5 SD, katanya biar sama kayak mas Jordan. Melihat Bima menjauh dari rumah, akupun langsung membututinya. “Pulang Bim…” kataku, takutnya dia main terlalu jauh padahal belum makan dan ganti baju. Diapun menurut, masuk rumah dengan wajah kecewa, ternyata Jordan belum pulang Sekolah.
Kulihat pembantu yang bekerja di rumah Jordan, namanya mbak Asih, sedang memetik mangga dengan bambu dan sebilah pisau di ujungnya. Kusapa, saat tangannya sedang menjulurkan sebatang bambu ke arah mangga yang ranum. “Mbak Sih..” dengan suara agak keras. “Iya, sini main” jawabnya sambil berhenti memetik. Sebenarnya aku ingin ngobrol sebentar dengannya, tapi aku harus mengurusi Bima “Ya mbak, lain kali saja”, dengan sopan aku menolaknya.
Saat yang bersamaan kulihat seseorang yang seusia denganku 17 tahunan berjalan ke luar pagar memakai seragam abu-abu putih yang sudah acak-acakan. Mendekati mbak Asih yang tadinya bicara denganku dan mengatakan sesuatu, entah bicara apa aku tak bisa mendengarnya, jarak kami kurang lebih 2 meteran. Kulihat tatapan mata anak laki-laki itu tak bersahabat. Kupaksakan sedikit senyum untuknya, tapi dia melengos dan masuk lewat pintu samping. “Monggo mbak”, ucapku pada mbak Asih yang dari tadi sibuk memetik mangga. Tanpa menunggu jawabannya kaki ini segera melangkah masuk.
Aku benar-benar tak dapat konsentrasi saat menyuapi Bima, kesal rasanya. Bukan karena susah mbujuk dia makan sayur atau minta lauk macam-macam. Kalau ini sih persoalan biasa yang tiap hari terjadi. Tapi ada satu hal yang memaksa otak ini berfikir keras. Sebuah pandangan sisnis dari anak majikan sebelah rumah. Kadang kami bertemu saat mau belanja dan dia mau Sekolah dengan seragamnya yang rapi. Namun baru siang tadi kita bertemu pandang, dan kurasa dia membenciku. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa aku punya salah dengannya? Atau masalah lain? Boro-boro, kenal aja tidak, tapi kenapa dia memperlakukanku seperti itu. Aku benar-benar tertekan dengan ini.
******
Malam datang, saatnya istirahat badan terasa pegal, ngantuk tapi mata ini sulit terpejam, hanya memikirkan peristiwa tadi siang. Gelisah tak bisa tidur, dan rasa kesal masih menguasaiku. Biasanya aku tak pernah rewel, bisa tidur walau hanya beralaskan kasur tipis dan selembar kain untuk selimut, sedangkan majikanku tidur dengan spring bed empuk. Di kamarku ada sebuah radio butut, tapi aku menyukainya, bisa menemaniku dengan suaranya yang kadang menyebalkan, karena volumenya sudah rusak dan berbunyi “Grodok…..” keras. Kutemukan satu lagu tenar dan pikiranku langsung melayang.
Waktu sudah menunjukkan pukul 2 pagi, dan sebuah jawaban sadis telah keutemukan sesaat setelah sholat tahajud untuk menenangkan diri. Sebenarnya jawaban ini sudah bercokol sejak sore tadi saat mandi, tapi baru yakin sekarang. Pembantu, ya mungkin karena aku pembantu dia meremehkanku. Ini membuatku pusing. Apa salahnya bekerja sebagai pembantu, bukan penjaga toko, atau buruh pabrik! Kupikir pembantu bukanlah seorang hina seperti yang orang-orang katakanan. Sama saja seperti buruh pabrik atau penjaga toko lain, hanya beda jenis-jenis pekerjaannya.
Bukannya aku menuduh orang-orang di sekitarku menganggap pembantu manusia rendahan dan tak berpendidikan. Tapi karena banyak bukti yang kukoleksi. Belum lagi kalau ketemu anak SMP yang rumanya di ujung blok itu, hih…bikin aku gemes pingin nyekik dia. Pernah suatu hari aku menyapanya “selamat sore mbak” eh dia cuma ngeliatin aku dari ujung rambut sampai ujung kaki tanpa menjawab sapaanku dan kejadia neperti ini selalu berulang. Siapa yang tidak kesal diperlakukan seperti itu?
Meskipun begitu aku takkan pernah meninggalkan pekerjaanku titik. Karena dengan inilah aku bisa membantu Simbok dan bapak di kampung, membiayai sekolah adikku yang ke 3 kelas 2 SMP. Dan akupun bisa hidup lebih baik di kota ini. Beberapa hari kemudian aku bertemu lagi dengan anak sinis itu, memang agak kejam menjuluki dia anak sinis, tapi kenyataannya memang begitu ” wek…..”.
Sebenarnya aku nggak mau melihat mukannya, namun ada sebuah pertanyaan yang harus kucari jawabnya. Jalan satu-satunya adalah melihat matanya lagi dan kutemukan jawaban, dia tak berubah tetap seperti kemarin mendelik dan aku sangat tak suka. Dengan tenang aku mengalihkan pandangan dan berjalan menjauh, meski rasanya ingin berlari. Keinginanku hanya satu, kapan orang-orang berhenti melihatku seperti itu. Akupun sadar tidak hanya aku yang diperlakukan seperti itu, tapi teman-temanku sesama pembantu di perumahan inipun menerima perlakuan yang sama. Bukankah setiap orang itu sama di hadapan Tuhan! Tak ada perbedaan pangkat, kasta ataupun hitam putih warna kulit! Apa mereka tak punya hati?
Say
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Comment